Gereja Tugu
Kampung Tugu secara administratif masuk ke dalam Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, Provinsi DKI Jakarta. Kampung yang dihuni orang portugis ini memiliki peninggalan sejarah yang sangat panjang. Salah satu peninggalan tersebut yaitu Gereja Tugu yang berdiri kokoh selama hampir 300 tahun. Gereja Tugu sendiri merupakan salah satu dari 12 destinasi wisata pesisir Kota Jakarta Utara dan merupakan salah satu benda cagar budaya yang dilindungi dan tidak boleh diubah bentuknya. Gereja Tugu ini konon didirikan seiring dipindahkannya para Mardjiker dari Kota Batavia. Saat di Batavia, para Mardjiker biasanya beribadah di Gereja Sion atau Portugeesche Buitenkerk yang merupakan gereja reformasi Protestan. Walaupun sebagian besar tawanan Portugis ini beragama Katholik, namun mereka tetap beribadah di sana sebab gereja tersebut masih menggunakan tata cara dan bahasa Portugis cristão dalam pelayanannya. Namun semenjak pindah ke Kampung Tugu para Mardjiker menggunakan Gereja Tugu sebagai sarana ibadahnya.
Pembangunan Gereja Tugu diperkirakan dimulai tahun 1676-1678 M bersamaan dengan pendirian sekolah rakyat pertama di Hindia Belanda oleh Melchior Leydekker, seorang doktor ilmu kedokteran dan teologi dari Belanda yang ditempatkan di Kota Batavia. Gereja inilah yang hingga sampai sekarang menjadi ikon Kampung Tugu. Gereja yang dapat menampung sekitar 300 jemaat ini terbilang unik, tidak seperti bangunan lain yang biasanya menghadap jalan, gereja ini justru menghadap sungai Cakung. Hal Ini semakin mengukuhkan bahwa dulu, Cakung merupakan jalur lalu-lintas transportasi air utama untuk menuju gereja. Menurut penasihat dan pengurus GPIB Tugu atau Gereja Tugu, Aprelo Formes, sungai itu kerap dipakai sebagai moda transportasi orang Portugis. Namun kini, sungai tersebut terkesan kotor dan sudah tak bisa dilalui oleh perahu lagi.
Tahun 1738 dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua, menggantikan Gedung Gereja yang pertama yang telah rusak. Tahun 1740, bangunan gedung Gereja Tugu tahap II mengalami pengrusakan saat terjadi pemberontakan etnis Tionghoa (Cina Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, pada masa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier tahun 1737–1741. Pada tahun 1737, dilakukan renovasi di Gereja Tugu, yang pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, yaitu Ferreira d’Almeida dan orang-orang Mardijkers. Kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah yang bermukim di Cilincing, Yustinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.
Keunikan Gereja Tugu terletak di bagian atapnya yang bentuknya runcing, jelas Aprelo. Hal ini didasarkan pada letak surga yang berada di langit. Gereja Tugu resmi menjadi cagar budaya sejak tahun 1970-an. Saat itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin. “Dengan resminya Gereja Tugu sebagai cagar budaya, ini menjadi suatu bentuk benda yang dilindungi, benda cagar budaya ini,” katanya. Peresmian ini dilakukan melalui SK Gubernur tahun 1970 tentang penetapan Kampung Tugu dengan fokus Gereja Tugu sebagai daerah yang dilindungi Undang-Undang Monumen.
Leave a Reply